YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Hidup manusia merupakan medan pertemuan antara agama dan budaya, sehingga tidak ada agama yang terpisah dari budaya dan tidak ada agama yang tidak berwajah budaya.
"Agama bisa dikatakan sebagai buah dari budaya sekaligus pelestari serta pemberi makna budaya itu sendiri," kata staf pengajar Fakultas Theologi Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, CB Mulyatno Pr,Kamis.
Dalam seminar ’Agama dan Budaya yang Terjebak dalam Kawasan Regresi dan Stagnasi’ di Universitas Atma Jaya (UAJY) Yogyakarta, ia mengatakan bahwa agama dan budaya merupakan perkawinan yang sangat kokoh karena pertama-tama manusia merupakan makhluk religius.
"Religiusitas manusia terungkap secara jelas di dalam kemampuan memahami nilai dan mencintainya atau memperjuangkannya terus menerus, kerinduan untuk menyempurnakan hidup dan mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi ditampung dan diberi ruang dalam agama," katanya.
Ia mengatakan, agama dan budaya tidak terpisahkan karena agama telah menunjukkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat yakni secara efektif melestarikan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kedamaian dan persaudaraan.
"Perjumpaan agama dan budaya tampak dalam nilai bahasa, kebiasaan atau adat istiadat, teknik penghadiran dan institusi atau lima pilar budaya yang membela martabat manusia," katanya.
Mulyatno mengatakan, agama menjadi relevan dan siginifikan ketika menghadirkan ajaran bukan dalam dogma-dogma beku mengenai sifat-sifat Allah melainkan dalam kualitas nilai yang unggul yakni kasih, cinta, persaudaraan, solidaritas dan perjuangan untuk mengembangkan hidup manusia.
"Agama tidak terjebak dalam retorika dogmatis atau politis serta aktivitas kultis melainkan menyatukan pengungkapan dan ajaran menjadi komitmen atau spiritualitas yang membumi dan memerdekakan manusia dari belenggu kultur global dan postmodernitas (posmo)," katanya.
Ia mengatakan, posmo mencurigai berbagai bentuk pemikiran dan ideologi baku termasuk definisi terhadap berbagai hal sehingga posmo jiga tidak mendifinisikan dirinya sendiri.
"Pengertian posmo pun juga tidak jelas bahkan pengertian posmo sering diartikan sebagai wadah kosong yang bisa diisi apa saja," katanya.
Ia menambahkan, posmo cenderung menekankan pentingnya proses dan perkembangan sehingga mencurigai hal-hal yang dianggap mutlak dan obyektif maka kebenaran dan kenyataan dimengerti dalam kaitan dengan perkembangan.
"Akibatnya banyak orang yang beragama posmo mulai curiga dan meninggalkan paham kebenaran mutlak-objektif seperti kebenaran wahyu dan Tuhan," katanya.
Sumber : Ant
0 komentar:
Posting Komentar