#

Jangan Pernah Menjadi Manusia Massa

Seorang pria membawa foto Mahatma Gandhi saat menggelar demo damai di Sydney, Australia, 8 september 2007.
Sabtu, 15 Agustus 2009 | 20:48 WIB

KOMPAS.com - Diakui dan dipuja oleh orang lain, bagi kebanyakan orang adalah sebuah kebanggaan yang membahagiakan. Secara umum, pengakuan orang lain serasa memberi penegasan akan eksistensi diri, membuat predikat diri yang ‘hebat’ dan berprestasi. Atas alasan ini, banyak orang berekadaya, mencipta karya yang menarik apresiasi orang lain. Tidak jarang segala ekspresi diarahkan serta merta menurut ’pasar’. Pada batas tertentu, originalitas diri tidak lagi menjadi hal penting dibandingkan dengan sebuah citra sosial, demi kemasyuran diri.

Gejala ini tak hanya mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi besar saja; semisal film, mode, gaya hidup dan lainnya, namun juga telah berjangkit pada motivasi perilaku individu keseharian yang bersifat retail. Seringkali seseorang melakukan sesuatu bukan karena ia ingin melakukannya, namun lebih karena dilihat orang lain, dan mencipta kesan diri yang baik.

Bukan Tabu
Menjadi populer dan disegani banyak orang bukanlah sesuatu yang tabu dan salah. Setiap orang berkecenderungan untuk membangun citra yang positif demi kenyaman diri di tengah-tengah lingkungannnya. Bisa dibayangkan, seandainya seonggok citra negatif diri melekat dalam diri, pastilah membuat seseorang tidak lagi percaya diri dan engan untuk bersosialisasi. Diri menjadi insecure dan serasa tak bermartabat, dan mungkin hidup menjadi tidak lagi menyenangkan. Pun demikian, jika kesan orang lain menjadi gugus kendali diri yang dominan, maka kegagalan untuk menjadi diri sendiri pasti akan terjadi. Originalitas dan identitas diri yang murni menjadi terkoyak, dijajah oleh diri-diri palsu yang diimpor dari penilaian orang lain. Seseorang menjadi kehilangan individualitasnya; seperti zombi, yang kelihatan tegak, kukuh, namun mati kewaskitaannya.

Martin Heidegger dalam karya besarnya, Being and Time menjelaskan sebuah realitas diri yang disebutnya sebagai impersonalitas, yaitu sebuah eksistensi diri yang hanya berisi tentang harapan-harapan sosial; diri yang tidak senyatanya, namun yang seharusnya. Dituturkan Heideger, bahwa impersonalitas membangun motif-motif pada seseorang untuk selalu melakukan sesuatu seturut dengan harapan orang lain demi kesan diri yang positif. Kita mungkin bisa mengambil contoh perilaku seorang bawahan yang selalu mencari muka pada atasannya; apapun dilakukannya demi mendapatkan decak kagum dari Sang Atasan. Misalnya saja ia harus meladeni atasannya membereskan perlengkapan rumah tangganya, yang notabene bukan job desk-nya.

Ernest Schachtel dalam artikelnnya yang bertitel On Alieanated Concept on Identity, menjelaskan sebuah konsep self emptyness yang dinyatakannya sebagai diri yang dikendalikan oleh orang lain. Seseorang hanya melakukan sesuatu atas dasar motif untuk ’diamini’oleh orang lain. Misalnya seorang politisi menyampaikan orasi politik yang disesuaikan dengan tren massa, meski ia sendiri sebenarnya tahu kalau isi orasinya bias, ia tetap mantap melakukannya demi popularitasnya.

Dalam contoh ini Sang politisi lebih mementingkan respon popularitas, bukan pada kebenaran pendapat itu sendiri. Postulat yang baku mungkin akan dilanggar demi tepuk tangan khalayak. Contoh yang lebih gempar lagi, seorang dermawan yang bersemangat menyumbang, hanya saat dipublikasikan namanya, dan menjadi enggan menyumbang saat tidak ada wartawan dan tidak disaksikan orang lain. Dalam penjelasannya Schachtel menengarai bahwa corak pribadi semacam ini adalah individu yang abai terhadap spontanitas diri, dan lebih memilih untuk menjadi ’manusia massa’, yaitu pribadi yang tergantung pada puji dan puja orang lain.

Sepintas lalu, menjadi ’manusia massa’ terdengar sangat heboh, populer dan mengundang histeri bagi pengagumnya. Dijadikan nara sumber dan acuan oleh para pengagumnya. Namun dalam realitas, jika diselami lebih dalam banyak ’manusia massa’ yang menderita sindrom paradoksal dalam kehidupan pribadinya, misalnya artis yang penuh gebyar ternyata hutangnya menumpuk, seorang agamawan yang getol bicara moralitas dan pornografi ternyata sejarah hidupnya penuh dengan kawin cerai, atau seorang trainer pengembangan kepribadian yang masyur ternyata dilingkupi banyak sekandal cinta. Hal itu terjadi karena pemberontakan spontanitas diri yang tak lagi tertahankan, dan menjalar dalam bawah sadarnya.

Karen Horney, dalam esainya yang berjudul Our Inner Conflict menjelaskan bahwa spontanitas diri tidak pernah akan punah walau telah diabaikan. Eksistensinya akan selalu ada dalam diri individu walaupun secara laten. Spontanitas diri yang diripres, diganti dengan eksistensi yang normatif akan mennyublin menjadi kekuatan yang mungkin sama sekali berbeda dengan yang normatif. Spontanitas diri punya cara sendiri dalam mengekspresikan ketertindasannya.

Tidak Mungkin

Menjadi pribadi yang sempurna, tanpa cacat dan penuh keutamaan pasti tidak mungkin. Ada saja kelemahan diantara kesempurnaan, barangkali ini adalah sebuah keniscayaan. Hanya saja keterpecahan (split) antara kisah publik dan kisah pribadi dari seorang ’manusia massa’ yang begitu mencolok, terasa tragis dan mengetirkan. Tidak hanya karena integritasnya yang telah mengibuli banyak orang, namun jauh lebih dalam, karena ia telah hidup dalam kelelahan yang berkepanjangan dalam arena konflik internal yang dihadapinya. Ia telah menjadi diri yang tidak spontan.

Menjadi terpandang dan diakui banyak orang tidak selalu harus mengadaikan orijinalitas diri. Siapapun bisa mendapatkan apresiasi dari dunia berkat keaslian dan spontanitas diri. Mengelaborasi keunikan diri secara gigih, disertai dengan ketulusan hati dan menghindari jalan pintas, pada saatnya akan mendapatkan apresiasi yang lebih abadi dari dunia. Tidak perlu takut untuk berbeda dengan selera khalayak, pun juga jangan terlalu bersemangat untuk menjadi deviant person. Hargai dan maknakan spontanitas diri. Sertakan ia selalu dalam bagian ekspresi kita.

Simaklah Biografi Mahatma Gandhi, Frederick Nietze, Mohamad Hatta, Charles Darwin, Albert Enstain, Iwan Fals, J.K. Rowling dan masih banyak lagi, mereka besar dan membahana namanya karena keunikan pribadi dan kegigihannnya. Ia sampaikan yang baik dan buruk dalam dirinya kepada dunia, dalam ekspresi yang tulus.

YB.CAHYA INDIRASARI, S.Psi., M.Si, pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta



Together We Stand Against Terrorism! KOMPAS.com support #IndonesiaUnite

0 komentar: